RRI MADIUN MENUJU KE MUARA BERDIRINYA RRI MADIUN Lahirnya RRI Madiun memang diawali dengan usaha dan perjuangan yang tak kenal lelah. Sekitar tahun 1937, sebuah panitia telah dibentuk di Madiun dengan ketua Partolegowo merencanakan akan mendirikan studio radio dengan nama “Eerste Madiunsche Radio Omroep”. Akan tetapi rencana tersebut tetap sebagai rencana, artinya tidak dapat diwujudkan dengan tidak diketahui penyebabnya. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 disiarkan melalui radio, beberapa pemuda di Madiun merintis kembali dengan berbagai cara dan pendekatan, berusaha mendirikan pemancar radio. Hasrat mendirikan studio radio ini mendapat dukungan dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat-pejabat pemerintah setempat. Mereka menyadari dan beranggapan bahwa siaran radio pada waktu itu satu-satunya alat komunikasi yang kuat untuk menggelorakan semangat, menyebarluaskan informasi dan sebagai alat penghubung bagi rakyat dan pemerintah setempat. Disamping itu, dengan adanya desakan tentara sekutu/Belanda, setelah mereka menduduki kota-kota di pesisir dan bangsa Indonesia tidak lagi bisa menguasai kota-kota tersebut, maka perlu adanya pos-pos di pedalaman sebagai basis penampungan yang dapat meneruskan tugas perjuangan, khususnya melalui siaran radio guna mengobarkan semangat juang untuk mempertahankan kemerdekaan. Ir. Nowo Djojosentono, Sutedjo dan M. Soetardi dari Dinas Genie Markas Besar TKR Jawa Timur dengan perlindungan Kapten Niti Hadisekar yang waktu itu menjabat Kepala Jawatan Perhubungan Kabupaten Magetan, berhasil mengambil dan mengumpulkan alat-alat radio telegrafie peninggalan Jepang yang tersimpan di Goa Nitikan Magetan. Seorang yang bernama Sutedjo dibantu oleh Wirjohusodo, Sudirman dan beberapa orang lainnya berhasil merakit kembali alat-alat telegrafie tersebut menjadi pemencar telefonie, sehingga dapat dipergunakan untuk kepentingan siaran. Setelah mengadakan percobaan-percobaan siaran sekitar tiga bulan, baik mereka yang menaruh minat dalam masalah keradioan maupun tokoh-tokoh masyarakat dan para pejabat pemerintah, berkeinginan mendirikan studio radio sebagai cabang RRI di Madiun. Untuk mempersiapkan segala sesuatunya, dibentuklah sebuah panitia yang terdiri dari Dokter Ismangoenkoesoemo, Dahmojo, Mashadi, Mohamad Esnaeni dan Sosroboesono. Panitia berusaha mencari tempat untuk melaksanakan siaran. Akhirnya mereka mendapat tempat di gedung bekas Perkumpulan Theosofi terletak di jalan raya Madiun (sekarang Jl. Pahlawan). Suatu keuntungan, karena gedung tersebut mempunyai ruang yang cukup luas biasa digunakan untuk pertemuan, sehingga tepat bila dipergunakan untuk keperluan studio. Pada saat itu peralatan tekniknya masih sangat sederhana, yaitu peralatan peniggalan Jepang yang pernah diambil di Goa Nitikan, demikian juga akustik studionya. Dinding yang semula telanjang, dicoba dilapisi dengan softboard biasa yang tidak bisa tahan lama, kemudian diganti dengan karung goni. Akhirnya usaha panitia tidak sia-sia, mereka berhasil mewujudkan RRI Cabang Madiun yang terintegrasikan dengan RRI Pusat dimana bagian administrasinya berada di Solo, sedangkan bagian siarannya berpusat di Jogjakarta. Sesuai Surat Keputusan Pusat Pimpinan Radio Republik Indonesia Nomor 662/TO/L yang ditandatangani oleh Maladi tanggal 6 Juni 1946, para personalia yang diangkat sebagai pegawai RRI Cabang Madiun yang berlaku sejak 1 April 1946, terdiri atas : 1. Soetojo sebagai Kepala Jawatan 2. Harsojo sebagai Kepala Urusan Umum 3. Moenadjat sebagai Kepala Siaran 4. Sadono sebagai Kepala Teknik 5. M. Soetardi sebagai operator 6. Sijarsono sebagai operator 7. Ngali Harjono sebagai operator 8. Subagjo sebagai operator 9. Sudino sebagai penyiar Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa orang pembantu penyelenggaraan siaran, yaitu Muharjadi, Thomas Martono, Iskandar, Djokomono, dan tenaga-tenaga penyiar, yaitu : Utari, Chati, Susiana dan Surjani. MENGUNGSI DAN MEMPERTAHANKAN DIRI Pada waktu clash I dan II yang dilancarkan Belanda, beberapa pegawai RRI Madiun ternyata dapat menyelamatkan pemancar dan alat-alat radio lainnya dengan mengungsikan keluar kota. Pada waktu clash I tahun 1947 sempat dibuat pemancar darurat di Dolopo, sebelah selatan kota Madiun. Sedangkan pada clash II, tahun 1948 pengungsian dilakukan dalam dua rombongan, yaitu yang menuju ke arah Ponorogo dipimpin oleh J.H. Goni, dan satu rombongan lagi menuju ke arah Dungus dipimin oleh Hasan Basri. Akhirnya beberapa dari mereka bertemu di Kandangan, di kaki gunung Wilis sebelah timur Madiun, kemudian mereka melakukan siaran darurat dan hubungan telegrafie dalam persembunyian supaya tidak diketahui oleh Belanda. Siaran tersebut dapat dilakuakan, karena adanya generator sebagai sumber energi listrik milik Pabrik Kopi Kandangan. Semangat juang untuk mempertahankan kemerdekaan yang dilakukan oleh para angkasawan RRI Cabang Madiun saat itu selalu diwujudkan dengan siaran darurat yang dilakukan dengan selalu menggunakan call station Radio Gerilya Rakyat Indonesia. Mereka menyiarkan Warta Berita, Pidato Radio oleh Komisaris Polisi Mohamad Jasin dengan nama samaran Bung Patriot, Inspektur Polisi Soejono dengan nama samaran Bung Bhayangkara, Residen Pamoedji, Gubernur Jawa Timur Samadikun dan lain-lain. Disamping itu mereka selalu melakukan hubungan telegrafie dengan stasiun-stasiun gerilya di Kediri, Bojonegoro, Purwokerto, Solo, terutama dengan RI-Pers yang langsung dipimpin oleh Maladi. Adapun mereka yang melakukan siaran pada saat itu antara lain J.H. Goni, Pramono, Harjoto, Hasan Basri, Ny.Murtini dll. Berkat lindungan yang kuat dari Angkatan Bersenjata dan dukungan rakyat setempat serta para pegawai RRI yang lain yang berada di kota sebagai kurir juga pengumpul supply bahan makanan, maka tugas dipengungsian dapat dilaksanakan dengan baik. Mereka yang tetap tinggal dan bertugas di kota antara lain Sugito, M. Soetardi, Ngali Harjono, Sutarco, Sudino, Suharno, Krismanto, Martono, Amir Chatar, Suparti, Sumijatin dll. Setelah dikeluarkan perintah untuk menghentikan segala pertempuran dan permusuhan oleh Presiden Soekarno, maka para angkasawan dan angkasawati yang berada di pengungsian kembali ke kota dan menjalankan tugas siaran lagi di gedung RRI Jalan Raya Madiun (sekarang Jl. Pahlawan). Sejak saat itulah RRI mengalami perjalanan panjang dan tanggal 11 September 1945 disepakati sebagai tanggal lahir RRI, yang sampai sekarang diperingati sebagai Hari Radio. Dalam perjalanannya, RRI mengalami beberapa kali perubahan status, misalnya sebagai Unit Pelaksana Teknis di bawah Departemen Penerangan, sebagai Perusahaan Jawatan dan berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4252), RRI menjadi Lembaga Penyiaran Publik di Indonesia. Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, RRI mengemban visi Menjadi Radio Publik Milik Bangsa, Sebagai Acuan Informasi Terpercaya dan Hiburan yang Sehat, Pemberdaya Masyarakat, Perekat Budaya Bangsa, Sejahtera dan Unggul Secara Nasional Bertaraf Internasional. Sedangkan misi RRI adalah : 1. Memberikan pelayanan informasi yang terpercaya bagi masyarakat guna memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh akses informasi melalui proses kerja standar jurnalisme profesional yang bersandar pada prinsip akurat dan berimbang serta berorientasi pada keharmonisan dan kedamaian. 2. Menjadi wahana kontrol sosial melalui program siaran yang memberikan ruang yang cukup bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat, kritik terhadap suprastruktur politik guna mendorong terciptanya penyelenggaraan negara yang baik. 3. Menjadikan program siaran pendidikan sebagai pemberdaya masyarakat dan pendorong proses demokratisasi yang bertumpu pada hak masyarakat untuk mengemukakan pendapat dengan tetap berpegang pada kaidah hukum dan prinsip masyarakat madani yang berkeadaban. 4. Menjadikan program siaran kebudayaan sebagai perekat sosial dan keberagaman budaya Indonesia guna memajukan kebudayaan nasional dengan menumbuhkembangkan unsur budaya lokal di tengah arus budaya global. 5. Menjadikan program siaran hiburan, wahana hiburan yang sehat bagi keluarga Indonesia dan mampu mendorong kreativitas masyarakat. 6. Menyelenggarakan siaran-siaran yang melayani kebutuhan kelompok minoritas dalam masyarakat. 7. Menyelenggarakan program siaran yang mendorong pemahaman persepsi tentang gender sesuai nilai budaya bangsa. 8. Memanfaatkan dan tanggap terhadap perkembangan teknologi media penyiaran yang efektif efisien serta mengoperasionalkannya secara profesional guna menjangkau seluruh wilayah Indonesia serta menjamin kenyamanan dan kemudahan masyarakat mendengarkan siaran RRI. 9. Menyelenggarakan siaran internasional bagi masyarakat Indonesia di luar negeri dan memberikan informasi tentang Indonesia ke dunia Internasional. 10. Memberikan pelayanan jasa-jasa yang terkait dengan kegiatan penyiaran sesuai kebutuhan masyarakat secara profesional guna menambah pendapatan lembaga untuk menunjang pelaksanaan operasional siaran dan meningkatkan kesejahteraan karyawan. Untuk mewujudkan visi dan misi RRI, Lembaga Penyiaran Publik RRI Madiun, tetap berusaha maju terus dengan semangat profesionalisme yang tinggi serta tetap berpegang pada Piagam 11 September 1945 Tri Prasetya serta motto Sekali Di Udara Tetap Di Udara, Unggul Dan Sejahtera.
|